Jumat, 02 Oktober 2015

Gender Talk series 2: Truth or Dare

Dalam perjalanan kami pulang ke rumah seperti biasa Galuh dan Bimo berbincang di kursi belakang mobil dan saya dibalik kemudi.

Galuh: Truth or Dare?
Bimo: Dare
Galuh: say this....I wish I were a girl
Bimo: eeeeemhhhh mbaaaaaaak.....no.....
Galuh: you have to say it, it is a dare
Bimo: mbaaaaaaaaak (nada sedih)

Bimo sama sekali menolak mengatakan "I wish I were a girl"....
Hmmmmm dari yang saya baca tentang pembentukan identitas maskulin, memang menghindari 'femininitas' adalah salah satu faktor penting pembentuknya. Anak seusia Bimo, secara teoritis sedang membangun kuat identitas gendernya. Kalau katanya Freud sih sedang masa oedipal, ada ketakutan kastrasi/kehilangan penis, dan akan berusaha kuat menyamai power sang ayah untuk meraih hati sang ibu ehm...

Tantangan dari mbakyunya ternyata membuat dirinya merasa terancam, menjadi perempuan sepertinya sesuatu yang sangat menakutkan baginya...sampai sampai cuma main-main pun dia nggak mau ucapkan itu...

Saya sebetulnya tidak menyangka ternyata ketakutan 'kastrasi' dalam oedipal theory nya Freud ternyata memang muncul. Jika saya kaitkan dengan penelitian saya tentang maskulinitas pada laki-laki dewasa, ternyata ketakutan ini juga muncul bahkan cukup kuat.
Eric Anderson menyatakan bahwa ketakutan ini (ketakutan diasosiasikan dengan femininitas) disebabkan oleh budaya homohisteric yang kuat. Dimana ciri-ciri feminin pada laki-laki akan selalu diasosiasikan dengan homoseksualitas, dan dimana masyarakat masih merasa penting untuk mengidentifikasi mana yang hetero mana yang homo. Tuduhan sebagai homo cukup menakutkan karena mengandung konsekuensi social yang cukup tinggi seperti rentan dicurigai sebagai pelaku pelecehan sexual misalnya.

Untuk kasus Bimo, rasanya dia masih terlalu kecil untuk menyadari adanya homohisteric culture, apalagi kami tinggal di Australia yang sangat terbuka dan tingkat homohistericnya rendah. Dan rasanya tidak mungkin Bimo menolak mengatakan pernyataan itu karena takut dikira gay dengan konsekuensi sosialnya.

Saya kok melihatnya sebagai suatu proses perkembangan identitas gender yang lebih internal. Saya jadi mikir...jangan jangan si mbah Freud itu bener?

Gender Talk Series 1: NERF GUN

"I don't want to buy the NERF GUN, because it's for boys" kata Galuh
"Boys and girls can use that, why is it only for boys?" kata saya.
"Because it is not girly at all mum" Galuh menjawab
"Yea mbak, you can use the NERF GUN too, it doesn't matter you are a girl or a boy" kata Bimo yang memang sedang memilih milih untuk NERF GUN yang mana dia mau habiskan uang tabungannya.

Percakapan tentang gender sering muncul dalam interaksi kami. Baru kali ini saya akan mencoba untuk menuliskannya. Padahal pertanyaan dan pernyataan gender ini muncul sejak Galuh berusia tiga tahun. Galuh memang sangat kritis, dia pendiam tapi sangat kritis...

Sebagai seorang ibu yang mempelajari psikologi dan gender secara akademis, saya mencoba untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kedua anak saya untuk mengeksplorasi berbagai kegiatan dan berusaha untuk menghilangkan stereotype gender dalam kegiatan kegiatan tersebut. Tidak ada mainan/permainan khusus laki-laki atau khusus perempuan. Galuh boleh main mobil mobilan, pistol-pistolan, building blocks, robot, bola, dll. Bimo boleh main boneka, make up, salon salonan, masak masakan, dll. Tapi ternyata pemahaman anak tentang gender terbangun dengan sangat kompleks. Bahkan di usia yang sangat kecil, sebelum mereka bisa bicara, Galuh  dan Bimo sepertinya berjalan sendiri ke arah spectrum gender normative. Galuh sangat girly dan princessy, dan Bimo sangat maskulin.

Seperti percakapan kami tentang NERF GUN, Galuh dengan kesadaran identitas gendernya, tidak mau memilih NERF GUN hanya karena dia mempersepsikan itu sebagai mainan anak laki-laki. Padahal saya tau sekali dia sangat ingin mencoba memainkannya!