Dalam satu bulan ini saya membaca
dua buku tentang perjalanan. Buku yang pertama adalah “Titik Nol” karya
Agustinus Wibowo, dan buku yang kedua adalah “Aleph” karya penulis favorit ku
Paulo Coelho.
Ide yang sama dari dua buku
tersebut adalah bahwa perjalanan fisik adalah bukan semata perpindahan tubuh
kita secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perpindahan
spiritualitas kita dari satu dimensi ke dimensi lain.
Agustinus dan Paulo sama-sama
menyuratkan pesan pencarian diri dalam setiap proses perjalanan. Agustinus bercerita tentang bagaimana
perjalanan menjadi sarana mengenal diri yang sebelumnya tak terkenali. Sedangkan
Paulo menggunakan perjalanan sebagai suatu medium untuk menemukan kembali
identitas yang mengabur, istilah yang dipakainya “menemukan kembali kerajaan
yang hilang”.
Sebagai seorang yang sangat
menyukai perjalanan, kedua buku ini sangat mengena hampir disemua aspek psyche
saya. Buku ini juga mampu menjelaskan kenapa saya selama ini bisa sangat
menikmati perjalanan mulai dari kendaraan yang saya gunakan bergerak dari
kilometer pertama ke kilometer lain sampai ke tujuan. Rasanya tidak pernah
sekalipun saya berharap untuk tiba-tiba sampai ke tujuan…justru perpindahan
yang perlahan itu yang saya nikmati. Dan perjalanan yang paling saya nikmati
adalah perjalanan yang ditempuh seorang diri tanpa ditemani siapapun yang saya
kenal sebelumnya.
Setiap orang punya tujuan yang
berbeda dalam perjalanannya. Agustinus menekankan pada aspek “jauh” yang saya
maknai sebagai petualangan melihat yang tidak pernah dilihat sebelumnya dan
penaklukan keingintahuan yang tinggi akan kehidupan lain yang dialami manusia
di belahan dunia yang “jauh” dari dunia yang kita kenal. Dalam proses menemukan
yang “jauh” seorang manusia akan bertemu dengan manusia lain, berbagi takdir
dan kehidupan dalam waktu yang relative singkat dibandingkan ketika hidup di
dunia yang kita kenal “dekat”. Pertemuan dan perpisahan pada akhirnya membentuk
karakter orang yang mengalaminya.
Jadi ingat sebuah proverb yang
saya sendiri sudah lupa siapa penulisnya….tapi inti dari proverb tersebut
adalah…setiap orang yang berbagi takdir dengan kita sekejap, sehari, seminggu,
setahun, sewindu, ataupun seumur hidup memiliki tugas suci membantu membentuk
dan mengarahkan kita pada desain kehidupan kita dengan cara yang tidak pernah
kita ketahui….
Banyak buku yang sudah membahas
hal ini….salah satunya adalah bukunya Mitch Albom “Five people you meet in heaven”
yang kubaca di tahun 2009. Dan sekarang Agustinus dan Coelho juga menyiratkan
pesan yang sama.
Perjalanan Agustinus akhirnya
membentuk dirinya dari orientasi “I” (aku), menjadi “we” (kita). Agustinus yang
selalu menjadi orang asing di negeri asing pada akhirnya meleburkan diri dengan
kehidupan local dan menghilangkan ke”aku”an nya dalam ke”kita”an bersama dengan
warga local. Well….kalo kita terus meleburkan diri pada budaya local yang kita
datangi…trus bagaimana dengan identitas aslinya? Kurasa Agustinus membentuk
identitas yang beragam dalam identitas tunggalnya….Agustinus pada akhirnya
menemukan dirinya sebagai manusia berdasarkan kemanusiaannya bukan kebangsaan,
kesukuan, kewarganegaraan, ataupun agamanya. Simple with all the complexity…identitas
yang ditemukannya adalah manusia yang berbagi nilai-nilai kemanusiaan dimanapun
ia berada kemanapun ia pergi.
Coelho dalam Aleph….tidak
menekankan persimpangan takdir di kehidupan yang sekarang tapi justru
persimpangan takdir di kehidupan sebelumnya. Agak susah juga sebetulnya
memahami Coelho dalam buku ini yang sangat percaya pada reinkarnasi, bahwa
manusia saat ini memiliki kehidupan di masa lalu yang mempengaruhi keberadaan
kita saat ini. Tapi buku Coelho ini (kalaulah benar begitu) bisa saja
menjelaskan kenapa kok tiba-tiba kita merasa pernah mengenal seseorang,
tiba-tiba mencintai seseorang tanpa alasan, bahkan tiba-tiba membenci orang
juga tanpa alasan. Coelho percaya rasa-rasa yang timbul dengan tiba-tiba
terhadap seseorang disebabkan oleh singgungan takdir kita dengan orang tersebut
di masa lalu. Dalam Aleph, Coelho menitik beratkan pada penyelesaian unfinished
business dan pengampunan atas dosa masa lalu yang akhirnya ditemukan melalui
perjalanan melintasi benua Asia dengan menggunakan kereta trans Siberia.
Seperti biasa bukunya Coelho
sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang sederhana tapi seringkali tidak
terpikirkan. Dalam Aleph, Coelho menggambarkan bagaimana kehidupan yang
sempurna “dalam kacamata general”, damai, tenang, mapan, dan rutin dapat
menghilangkan energi semesta yang menggerakkan manusia dalam hasrat dan
semangat untuk hidup. Perjalanan panjang meninggalkan kehidupan yang sempurna
tadi mampu memunculkan kembali energy semesta tadi….
Hal yang sama dengan Agustinus….,
Coelho menilai pentingnya persimpangan-persimpangan takdir dengan orang lain
dalam perjalanan yang membantunya menemukan kerajaannya kembali.
Ketika saya refleksikan dalam
kehidupan saya dan perjalanannya….memang hidup selalu bersimpangan takdir
dengan orang lain dan itu memang membentuk siapa saya sekarang ini. Semakin
sering kita melakukan perjalanan keluar dari comfort zone kita semakin banyak juga kesempatan kita bersimpangan
takdir dengan orang lain…..dan….semakin bijak kita bisa menemukan dan memahami diri sendiri….mudah-mudahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar