Sabtu, 06 Juli 2013

"Titik Nol" dan "Aleph"



Dalam satu bulan ini saya membaca dua buku tentang perjalanan. Buku yang pertama adalah “Titik Nol” karya Agustinus Wibowo, dan buku yang kedua adalah “Aleph” karya penulis favorit ku Paulo Coelho.
Ide yang sama dari dua buku tersebut adalah bahwa perjalanan fisik adalah bukan semata perpindahan tubuh kita secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perpindahan spiritualitas kita dari satu dimensi ke dimensi lain.
Agustinus dan Paulo sama-sama menyuratkan pesan pencarian diri dalam setiap proses perjalanan.  Agustinus bercerita tentang bagaimana perjalanan menjadi sarana mengenal diri yang sebelumnya tak terkenali. Sedangkan Paulo menggunakan perjalanan sebagai suatu medium untuk menemukan kembali identitas yang mengabur, istilah yang dipakainya “menemukan kembali kerajaan yang hilang”.
Sebagai seorang yang sangat menyukai perjalanan, kedua buku ini sangat mengena hampir disemua aspek psyche saya. Buku ini juga mampu menjelaskan kenapa saya selama ini bisa sangat menikmati perjalanan mulai dari kendaraan yang saya gunakan bergerak dari kilometer pertama ke kilometer lain sampai ke tujuan. Rasanya tidak pernah sekalipun saya berharap untuk tiba-tiba sampai ke tujuan…justru perpindahan yang perlahan itu yang saya nikmati. Dan perjalanan yang paling saya nikmati adalah perjalanan yang ditempuh seorang diri tanpa ditemani siapapun yang saya kenal sebelumnya.
Setiap orang punya tujuan yang berbeda dalam perjalanannya. Agustinus menekankan pada aspek “jauh” yang saya maknai sebagai petualangan melihat yang tidak pernah dilihat sebelumnya dan penaklukan keingintahuan yang tinggi akan kehidupan lain yang dialami manusia di belahan dunia yang “jauh” dari dunia yang kita kenal. Dalam proses menemukan yang “jauh” seorang manusia akan bertemu dengan manusia lain, berbagi takdir dan kehidupan dalam waktu yang relative singkat dibandingkan ketika hidup di dunia yang kita kenal “dekat”. Pertemuan dan perpisahan pada akhirnya membentuk karakter orang yang mengalaminya.
Jadi ingat sebuah proverb yang saya sendiri sudah lupa siapa penulisnya….tapi inti dari proverb tersebut adalah…setiap orang yang berbagi takdir dengan kita sekejap, sehari, seminggu, setahun, sewindu, ataupun seumur hidup memiliki tugas suci membantu membentuk dan mengarahkan kita pada desain kehidupan kita dengan cara yang tidak pernah kita ketahui….
Banyak buku yang sudah membahas hal ini….salah satunya adalah bukunya Mitch Albom “Five people you meet in heaven” yang kubaca di tahun 2009. Dan sekarang Agustinus dan Coelho juga menyiratkan pesan yang sama.
Perjalanan Agustinus akhirnya membentuk dirinya dari orientasi “I” (aku), menjadi “we” (kita). Agustinus yang selalu menjadi orang asing di negeri asing pada akhirnya meleburkan diri dengan kehidupan local dan menghilangkan ke”aku”an nya dalam ke”kita”an bersama dengan warga local. Well….kalo kita terus meleburkan diri pada budaya local yang kita datangi…trus bagaimana dengan identitas aslinya? Kurasa Agustinus membentuk identitas yang beragam dalam identitas tunggalnya….Agustinus pada akhirnya menemukan dirinya sebagai manusia berdasarkan kemanusiaannya bukan kebangsaan, kesukuan, kewarganegaraan, ataupun agamanya. Simple with all the complexity…identitas yang ditemukannya adalah manusia yang berbagi nilai-nilai kemanusiaan dimanapun ia berada kemanapun ia pergi.
Coelho dalam Aleph….tidak menekankan persimpangan takdir di kehidupan yang sekarang tapi justru persimpangan takdir di kehidupan sebelumnya. Agak susah juga sebetulnya memahami Coelho dalam buku ini yang sangat percaya pada reinkarnasi, bahwa manusia saat ini memiliki kehidupan di masa lalu yang mempengaruhi keberadaan kita saat ini. Tapi buku Coelho ini (kalaulah benar begitu) bisa saja menjelaskan kenapa kok tiba-tiba kita merasa pernah mengenal seseorang, tiba-tiba mencintai seseorang tanpa alasan, bahkan tiba-tiba membenci orang juga tanpa alasan. Coelho percaya rasa-rasa yang timbul dengan tiba-tiba terhadap seseorang disebabkan oleh singgungan takdir kita dengan orang tersebut di masa lalu. Dalam Aleph, Coelho menitik beratkan pada penyelesaian unfinished business dan pengampunan atas dosa masa lalu yang akhirnya ditemukan melalui perjalanan melintasi benua Asia dengan menggunakan kereta trans Siberia.
Seperti biasa bukunya Coelho sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang sederhana tapi seringkali tidak terpikirkan. Dalam Aleph, Coelho menggambarkan bagaimana kehidupan yang sempurna “dalam kacamata general”, damai, tenang, mapan, dan rutin dapat menghilangkan energi semesta yang menggerakkan manusia dalam hasrat dan semangat untuk hidup. Perjalanan panjang meninggalkan kehidupan yang sempurna tadi mampu memunculkan kembali energy semesta tadi….
Hal yang sama dengan Agustinus…., Coelho menilai pentingnya persimpangan-persimpangan takdir dengan orang lain dalam perjalanan yang membantunya menemukan kerajaannya kembali.
Ketika saya refleksikan dalam kehidupan saya dan perjalanannya….memang hidup selalu bersimpangan takdir dengan orang lain dan itu memang membentuk siapa saya sekarang ini. Semakin sering kita melakukan perjalanan keluar dari comfort zone kita semakin banyak juga kesempatan kita bersimpangan takdir dengan orang lain…..dan….semakin bijak kita bisa menemukan dan memahami diri sendiri….mudah-mudahan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar